Friday, June 12, 2015

Review Buku: The Wednesday Letters

The Wednesday Letters
Genre:
Drama Fiction
Author:
Jason F. Wright

Buku ini duduk manis di tumpukan paling atas di lapak buku bekas, dekat stasiun Tebet. Mungkinkah gue nggak beli? Apalagi ada embel-embel The New York Times Bestseller di cover bukunya yang sangat unik, berbentuk amplop. Warnanya juga eye catching.

Jack & Laurel, pasutri tua nan romantis, tinggal di kota kecil, di penginapan sederhana Domus Jefferson, yang dikelola sendiri, serta memiliki tiga orang anak: Matthew, Malcolm, dan Samantha.

Jack menderita kanker otak ganas, dan hidupnya hanya tinggal menghitung hari. Istri tercinta, Laurel selalu sabar mengurusnya seorang diri. Anak-anak mereka sudah dewasa, dan tidak tinggal lagi bersama. Matthew dan istrinya, Monica tinggal di kota besar, dan sedang sibuk mengurus perizinan adopsi anak. Samantha, anak terakhir dan perempuan satu-satunya, sudah bercerai dengan suaminya, menjadi single mother untuk putrinya Angela, serta berprofesi sebagai Polisi lokal. Dan, Malcolm, sang penulis, tak tahu dimana rimbanya. 

Saat Jack & Laurel meninggal dunia di hari dan jam yang sama, anak-anak mereka, para kerabat, teman, sahabat, dan para tamu penginapan merasa tak percaya. Jack yang sakit parah, tapi Laurel yang wafat lebih dulu, menyusul suaminya, seakan otomatis berhenti hidup. Dalam keadaan berduka yang teramat sangat, mereka mempersiapkan upacara pemakaman yang cukup besar, namun tetap hangat dan kekeluargaan.

Matthew, Malcolm, dan Samantha menemukan "kebiasaan unik" kedua orangtuanya di dalam gudang. Ada beribu pucuk surat yang ditulis setiap hari Rabu oleh ayahnya untuk sang ibu. Kadang surat itu dikirimkan melalui pos, dan masih tertempel perangko di amplopnya. Atau ada beberapa surat yang tidak disertai perangko. Surat-menyurat seminggu sekali itu, dilakukan sejak mereka menikah, hingga tutup usia.

Seluruh surat dikumpulkan, lalu diurutkan berdasarkan tanggal, dan tiga bersaudara itu membacanya bergantian. Banyak yang hanya menceritakan tentang keseharian mereka, tidak sedikit berupa cerita lucu, bahkan mengharu biru. Samantha sampai harus menghapus air matanya berkali-kali. Hingga ada satu rahasia keluarga yang selama ini tersembunyi. Rahasia yang membuat mereka marah & gelisah, namun sekaligus mengikat mereka kembali menjadi keluarga yang utuh dan kompak.

Sebetulnya tema yang diangkat oleh Jason F. Wright sangat-sangat brilian. Suami-istri saling menulis surat, menumpahkan suka-duka, keluh kesahnya ke dalam kertas. Kemudian dibaca oleh pasangannya, akan sangat positif, ketimbang mereka berbicara dan ribut dengan suara keras, menyakiti perasaan anak-anak, hanya karena hal sepele. Mungkin bisa dicontoh juga buat pasutri masa kini, supaya rumah tangganya tetap harmonis.

Tapi sayang, penggarapannya kurang. Jauh sekali dari harapan gue. Ceritanya jadi terlalu datar. Tokoh-tokohnya kurang berkembang. Endingnya sangat klise dan gampang ditebak. Walaupun ada sedikit twist, tapi kok kayaknya terlalu dipaksakan. 

Pesan dari buku ini adalah tentang memaafkan. Suami memaafkan istri, orangtua memaafkan anak, anak memaafkan orangtua, keponakan memaafkan paman, dst. Tapi ada satu hal yang kurang logis: suami memaafkan kriminal yang menjahati istrinya sendiri. Ugh... gue berharap tokoh Jack yang pemarah, membunuh si bajingan yang menodai Laurel. Sumpah ya, kalo gue ketemu sama penulisnya, gue suruh revisi bagian maaf-maafan ini.

See ya!

No comments:

Post a Comment