Tuesday, November 25, 2014

Review Buku: Allegiant

Cover Buku Allegiant
Genre:
Science Fiction
Author:
Victoria Roth


Allegiant, buku terakhir dari trilogi Divergent - Insurgent. Buku final ini lumayan mengecewakan menurut gue, baik dari segi isi cerita yang makin lama makin nggak jelas, kurang klimaks, dan sangat monoton, hingga dibunuhnya sang tokoh utama oleh si penulis. "Menyedihkan banget!", ngomong ini dengan nada jutek, dan alis diangkat sebelah. 

Tris terkejut dengan tayangan video seorang perempuan bernama belakang Prior, seperti namanya. Di video itu dibahas tentang sejarah penduduk kota. Dan segala hal tentang pembagian faksi yang ternyata hanya rekayasa sampah. Lalu juga tentang kesalahan kode genetika yang penuh misteri.

Saat kelompok factionless menguasai kota, serta ingin menghapuskan sistem faksi di kota itu, Tris, Tobias, Cara, Christina, dll memutuskan untuk bergabung dengan tim Allegiant, dan mencari kebenaran di luar pagar. 

Nah dari sini, penulis mulai terlihat kebingungan mau dibawa kemana kisah ini sesungguhnya. Serta masalah kesalahan kode genetis setiap umat manusia ini menurut gue seperti mengada-ada. Memang sih hanya fiksi, tapi tidak sedahsyat trilogi Hunger Games, apalagi The Lord of The Rings.

Sebetulnya Veronica bisa aja menulis tentang adanya serangan zombie di luar pagar, dan bagaimana warganya bertahan hidup. Atau bisa juga, perang nuklir memang sedang terjadi, dan sebagian masyarakatnya hidup dengan tubuh cacat, namun tetap ikut berperang demi mempertahankan wilayah aman mereka, termasuk di dalamnya tempat tinggal Tris.

Bukannya, ketika rombongan Allegiant berangkat untuk mencari kebenaran, malah tidak mendapat apa-apa. Kurang terkesan sama buku ketiga ini. Nggak nampar, istilahnya. Padahal untuk buku pertamanya, walaupun sedikit mengikuti Harry Potter, tentang pembagian kelas menurut individu masing-masing: Gryffindor, Slytherin, etc, lumayan menarik untuk diikuti. Buku keduanya pun bagus, jempol dua buat Insurgent.

Yeaah... intinya kalau mau baca trilogi ini, khususnya buku terakhir, siap-siap kecewa, dan marah-marah. Serta jangan berharap banyak.

Selamat membaca... :D

Thursday, November 20, 2014

Bank Mengonfirmasi Kebenaran Data

Kemarin, Bank DKI Syariah confirm kebenaran data-data ke kantor gue dan suami. Awalnya mereka telpon ke ruangan, sebab nomor telpon kantor memang direct, tanpa melewati operator lagi. Setelah berbicara dengan manajer impor, si bapak penelepon dioper ke bagian HRD.

Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan:
  • Berapa lama calon debitur bekerja di kantor / perusahaan?
  • Apakah sudah diangkat menjadi karyawan tetap? Dan tepatnya tanggal berapa pengangkatan itu?
  • Berapa gaji pokok, uang makan, dan bagaimana sistem penggajian (transfer atau dibayar tunai)?
  • Dimanakah alamat kantor?
  • Berapa total karyawan di kantor tersebut?

Itu saja sih yang ditanyakan oleh Bank ke bagian personalia. Cuma entah kenapa ya, gue dag-dig-dug, cemas kayak lagi sidang Skripsi.

Proses selanjutnya adalah menunggu surat SP3K diterbitkan oleh Bank. Minimal 1 hingga 2 bulan ke depan. Semoga diterima, amin.



Tuesday, November 18, 2014

Booking Fee dan Biaya Lainnya

Setelah membayar booking fee sebesar 2 jt ke developer, data-data yang harus dilengkapi untuk pengajuan KPR di antaranya:

  • Fotokopi KTP suami istri untuk BI Checking, dan alhamdulillah status keuangan kami baik-baik saja, karena tidak ada cicilan. Jadi insyaAllah disetujui bank pemberi kredit.
  • Fotokopi NPWP
  • Fotokopi buku nikah
  • Fotokopi kartu keluarga
  • Foto berwarna 3X4 suami istri
  • Surat keterangan bekerja dari kantor
  • Fotokopi buku tabungan 3 bulan terakhir
  • Slip gaji 3 bulan terakhir
  • Fotokopi SPT Tahunan (jika gaji diterima secara cash, non transfer)
Masing-masing disiapkan sebanyak 3 rangkap.

Biaya-biaya yang harus dibayarkan di awal atau sebelum akad kredit, yaitu:
  • Booking fee, sesuai kesepakatan dengan developer. Sebagai tanda jadi, dan pengikat, sebetulnya kata beberapa orang bisa ditawar, kalau dalam kasus gue ini senilai Rp.2.000.000
  • Down Payment, sebesar 10% atau 20% dari harga rumah (untuk perumahan baru) serta DP 30% untuk rumah second. Atau sesuai dengan kesepakatan dengan bank : Rp.15.000.000
  • BBN (Bea Balik Nama) & BPHTB (Bea Pemilikan Hak Tanah & Bangunan) : Rp.10.000.000
  • Biaya KPR (meliputi biaya apraisal, adm bank, asuransi jiwa, asuransi kebakaran, dll) : Rp.7.500.000

Jadi, semua data sudah diajukan ke Bank DKI Syariah oleh developer, semoga di-acc, amin.
Katanya sih keputusan diterima atau ditolaknya pengajuan kredit oleh bank itu sekitar 2 minggu sampai 1 bulan.

Thursday, November 6, 2014

Obsesi Memiliki Properti

Dari dulu, sejak masih single, yang ada di pikiran gue adalah berumah sendiri. Biar lebih mandiri, nggak seatap terus sama orang tua.

Selain buat investasi jangka panjang, karena harga properti akan selalu naik, juga bisa menghasilkan uang dari jasa sewa rumah, karena pastinya nggak mungkin bokap mengizinkan gue tinggal terpisah tanpa suami.

Ngumpulin down payment dari belum nikah sampai anak udah umur dua tahun kok kayaknya nggak cukup-cukup.

Dulu, DP berkisar 10 atau 20%. Sekarang peraturannya beda lagi. Untuk rumah second, harus minimal punya DP 30% dari harga rumah. Blum lagi biaya lainnya, seperti pajak, asuransi, adm bank, dll.

Rumah idaman gue yang awalnya seharga 100an juta, kok sekarang harganya melambung jadi 400an juta. DP yang tadinya gue perkiraan sebesar 20jutaan, lalu setelah terkumpul melalui reksa dana, tetap nggak cukup, karena hitungannya DP sudah menjadi 120jutaan.

Gue jadi seperti mengumpulkan DP dari nol lagi. Nggak kelar-kelar. Belum lagi untuk cicilannya nanti. Per bulan pasti naik, kejar-kejaran sama kenaikan gaji dari kantor.

Jika gue keukeh ngumpulin DP lagi hingga senilai, let's say 150juta lebih, lalu tiba-tiba pemerintah membuat peraturan baru, bahwa DP minimal 40% dari harga rumah, tamatlah riwayat gue. Mau sampe umur berapa ngumpulin DP??

Dua minggu belakangan, gue iseng browsing di rumahdijual.com. Awalnya cari-cari rumah subsidi pemerintah yang seharga 100an juta. Apalagi kata developernya, pemerintah akan menghapus kebijakan rumah subsidi per Maret 2015. Jadi cluster Casa Del Lago di Cileungsi itu adalah perumahan subsidi terakhir. Gue nggak tau itu beneran akan ditiadakan oleh pemerintah, atau cuma pintar-pintarnya orang marketing.

Gue seperti orang yang membabi buta dengan keterangan dari developer. Tanpa konsultasi sana-sini, gue langsung bikin janji survey ke Cileungsi.

Untungnya suami konsultasi dulu sama rekan-rekannya, dan kata mereka rumah subsidi itu seperti membeli tanah saja. Karena bangunannya asal jadi. Paling hitungan bulan sudah harus renovasi, entah tembok retak, langit-langit bocor, dan permasalahan lainnya.

Saat itu gue masih nggak peduli, karena yang ada di otak gue: harga murah, dan gue mampu beli.

Yang bikin gue mengurungkan niat hanyalah aksesnya yang tidak bisa ditempuh dengan krl. Udah jauh, macet pula. Pas nyampe, rumah sumpek karena pasti banyak yang rusak.

Menurut beberapa orang, mending cari tanah kosong, lalu dibangun bertahap.
Gue tanya-tanya tanah seluas 85meter persegi, seharga 67juta. Di daerah depok sawangan. Jauh memang, tapi paling nggak ada akses kereta.

Namun, lagi-lagi niat gue diurungkan, kali ini oleh bokap. Dia bilang, misalkan nanti mau dibangun itu pasti butuh biaya yang nggak sedikit. Apalagi nanti siapa yang mandorin kerjaan tukang, bisa-bisa dikorupsi tuh pasir & semen. Logis banget pemikiran bokap.

Gue mana mungkin bisa hadir tiap hari di lokasi pembangunan. Bisa-bisa budget yang gue siapkan untuk membangun rumah perlahan membumbung, gara-gara pembelian material yang double-double.

Mending beli tanah beserta bangunannya, kalo ada rusak dikit, tinggal dibenerin sedikit pula, lanjut bokap. Misal, mau ganti kusen pintu yang dirayapin, tinggal renov sedikit di bagian kusen. Biayanya nggak banyak.

Gue serap sedimikian rupa saran-saran dari ortu. Lalu pencarian gue mengerucut antara rumah second, lokasi di depok atau citayam, & harga di bawah 250juta.

Setelah tanya dengan beberapa developer, dan salah satunya menginfokan rumah lelang bank BTN yang lumayan murah di daerah Bojonggede, Depok. Kita sekeluarga sudah survey ke sana. Naik krl dari St. Tebet, turun di St. Bojonggede. Lokasi rumah sekitar 10 menit dari stasiun. Yaaa.... sekalian ngajak jalan Sabrina, pengalaman dia yang pertama naik krl.