Genre:
|
Fiction
|
Author:
|
J.R.R. Tolkien >>> Edited by Christopher Tolkien (his son)
|
Selesai membaca trilogi The Lord of The Rings dan The Hobbit, serta masih sempat juga membaca ulang TLOTR yang pertama: The Fellowship of The Ring, maka The Silmarillion ini adalah buku yang saya tunggu-tunggu kehadirannya (versi Bahasa Indonesia pastinya). Buku ini adalah sejarah cikal bakal dari dua novel sebelumnya. Jadi, sangat wajib baca.
Lama nian saya menanti, sejak masih ABEGEH, sampai beranak-pinak, tak juga muncul beritanya. Akhirnya saya melupakan hasrat untuk membaca buku ini. Sudah tidak ada niatan mencarinya di rak-rak toko buku terkenal.
Dua tahun lalu, tepatnya tanggal berapa saya lupa, akhirnya saya membeli buku ini online, beserta dua buku Tokien lainnya, yaitu The Children of Hurin & Tales From The Perilous Realm. Maklum ya, saya mah orangnya nggak nanggung.
Saat itu buku A Perfect Proposal-nya Katie Fforde masih di tangan, jadi sementara saya mesti membendung nafsu saya terhadap buku ini. Dan, ketika waktu itu tiba (membaca The Silmarillion), jujur saja saya malah bingung dengan jalan ceritanya. Membacanya pun sangat perlahan (seperti orang yang megap-megap berenang ke tepian karena sulit bernapas). Kenapa?
Karena The Silmarillion bukan seperti dua novel epik karya Tolkien yang pernah saya baca. The Silmarillion tidak menceritakan kisah setahun dua tahun, atau seabad dua abad. Tidak pula hanya menyebut-nyebut segelintir tokoh. Melainkan awal penciptaan dewa-dewi serta semua makhluk yang akhirnya berdiam dan berkonflik di Middle Earth. Berjuta-juta tahun kehidupan, dengan berjuta-juta karakter dalam satu buku tebal. Layaknya orang sedang kehausan, dan ingin minum segelas air, tapi malah disemprot air selang tekanan tinggi sebanyak satu bendungan!
Jika dulu saya dibuat terkesima oleh kejeniusan Tolkien di dua novel sebelumnya, karena dia bukan cuma mampu membuat karya besar yang lengkap dengan denah, pohon keluarga, serta indeks bahasa. The Silmarillion membuat saya terjengkang, sebab Tolkien "menciptakan" dunia, dari awal sekali, dari mulai musik Eru Illuvatar dimainkan, hingga Middle Earth berjumpa dengan kiamatnya. Banyak orang bule (orang Barat Kaukasian, red) menyerupainya dengan "Bible".
Adalah Eru Illuvatar yang ditulis sebagai "Tuhan" memainkan irama musik, dan disambut dengan dewa-dewi ciptaannya (yang saya anggap sebagai "Malaikat", karena saya hanya percaya Tuhan itu tunggal). Lalu, dalam irama musik yang hebat itu, diciptakanlah dunia dan cara kerjanya, serta makhluk-makhluknya (anak-anak Illuvatar: Elves & Manusia).
Tapi di tengah lagu yang gegap gempita, rupanya "Tuhan" ini memiliki rencana, dan membiarkan beberapa ruang kosong diisi dengan lagu-lagu gelap milik Melkor, sang antagonis utama (interpretasi dari Iblis).
Konflik bermula dari kecemburuan Melkor terhadap penciptaan anak-anak Illuvatar, persis seperti Iblis yang menolak sujud terhadap Nabi Adam alaihissalam. Melkor merasa dirinya lebih besar dan mulia dibanding Elves dan Manusia. Ia pun memberontak, dan melarikan diri ke Middle Earth untuk menguasainya.
Cerita pun bersambung dengan kehidupan Elves, generasi ber generasi, karakter bijak mereka, serta kemampuan mereka untuk membuat hal-hal yang indah. Ketika Feanor (dari bangsa Elves) berhasil membuat tiga permata silmaril yang paling cemerlang di antara semua cahaya, timbul rasa iri dalam hati Melkor, dan ia ingin mencuri untuk dirinya sendiri.
Banyak pertikaian dimulai, antara Melkor dengan dewa-dewi, serta Melkor dengan Elves, kelancangan Elves terhadap dewa-dewi, perang saudara sesama Elves, serta perang-perang besar lainnya yang terjadi di zaman kedua Middle Earth. Yang pelan tapi pasti menuntun ke runut cerita penemuan cincin dalam The Hobbit serta perang cincin dalam TLOTR.
Jika, sudah membaca TLOTR & The Hobbit, banyak lubang kosong yang akhirnya diisi dalam The Silmarillion. Tentang siapa itu Morgoth (penyihir hitam yang paling ditakuti pada masanya), mengapa kurcaci dan elves saling bermusuhan, sejarah awal bentuk Sauron yang hanya berupa mata di menara tinggi, dan mengapa ada makhluk semengerikan Balrog di kedalaman Moria?
Well, karena banyak sekali nama tokoh yang diceritakan oleh Tolkien dalam lembar-lembar calon naskahnya, dan begitu banyak lembaran naskah yang hilang, yang belum sempat ia tuntaskan. Sehingga membuat sang anak, Christopher Tolkien merasa perlu untuk mengumpulkan kembali berkas-berkas tersebut, dan menyatukannya menjadi sebuah buku.
Walhasil, bukunya penuh dengan potongan kisah heroik dan tragis. Masing-masing kisah membutuhkan penjabaran yang lebih panjang, dari hanya sekedar satu atau dua bab. Karena menurut saya, potongan kisah itu lebih epik dari dua novel sebelumnya.
Jadi, bagi pembaca baru The Silmarillion, siapkanlah dirimu untuk membaca buku ini lebih dari sekali. Dan fokuskan pikiranmu pada nama-nama tokoh, dan tempat yang sangat melimpah. Kadang saya jadi bingung, dan kebolak-balik sendiri mengingat nama-namanya.
Anyway, buku ini baru bisa saya tamatkan lebih dari setengah tahun lamanya. T_T
Lama nian saya menanti, sejak masih ABEGEH, sampai beranak-pinak, tak juga muncul beritanya. Akhirnya saya melupakan hasrat untuk membaca buku ini. Sudah tidak ada niatan mencarinya di rak-rak toko buku terkenal.
Dua tahun lalu, tepatnya tanggal berapa saya lupa, akhirnya saya membeli buku ini online, beserta dua buku Tokien lainnya, yaitu The Children of Hurin & Tales From The Perilous Realm. Maklum ya, saya mah orangnya nggak nanggung.
Saat itu buku A Perfect Proposal-nya Katie Fforde masih di tangan, jadi sementara saya mesti membendung nafsu saya terhadap buku ini. Dan, ketika waktu itu tiba (membaca The Silmarillion), jujur saja saya malah bingung dengan jalan ceritanya. Membacanya pun sangat perlahan (seperti orang yang megap-megap berenang ke tepian karena sulit bernapas). Kenapa?
Karena The Silmarillion bukan seperti dua novel epik karya Tolkien yang pernah saya baca. The Silmarillion tidak menceritakan kisah setahun dua tahun, atau seabad dua abad. Tidak pula hanya menyebut-nyebut segelintir tokoh. Melainkan awal penciptaan dewa-dewi serta semua makhluk yang akhirnya berdiam dan berkonflik di Middle Earth. Berjuta-juta tahun kehidupan, dengan berjuta-juta karakter dalam satu buku tebal. Layaknya orang sedang kehausan, dan ingin minum segelas air, tapi malah disemprot air selang tekanan tinggi sebanyak satu bendungan!
Jika dulu saya dibuat terkesima oleh kejeniusan Tolkien di dua novel sebelumnya, karena dia bukan cuma mampu membuat karya besar yang lengkap dengan denah, pohon keluarga, serta indeks bahasa. The Silmarillion membuat saya terjengkang, sebab Tolkien "menciptakan" dunia, dari awal sekali, dari mulai musik Eru Illuvatar dimainkan, hingga Middle Earth berjumpa dengan kiamatnya. Banyak orang bule (orang Barat Kaukasian, red) menyerupainya dengan "Bible".
Adalah Eru Illuvatar yang ditulis sebagai "Tuhan" memainkan irama musik, dan disambut dengan dewa-dewi ciptaannya (yang saya anggap sebagai "Malaikat", karena saya hanya percaya Tuhan itu tunggal). Lalu, dalam irama musik yang hebat itu, diciptakanlah dunia dan cara kerjanya, serta makhluk-makhluknya (anak-anak Illuvatar: Elves & Manusia).
Tapi di tengah lagu yang gegap gempita, rupanya "Tuhan" ini memiliki rencana, dan membiarkan beberapa ruang kosong diisi dengan lagu-lagu gelap milik Melkor, sang antagonis utama (interpretasi dari Iblis).
Konflik bermula dari kecemburuan Melkor terhadap penciptaan anak-anak Illuvatar, persis seperti Iblis yang menolak sujud terhadap Nabi Adam alaihissalam. Melkor merasa dirinya lebih besar dan mulia dibanding Elves dan Manusia. Ia pun memberontak, dan melarikan diri ke Middle Earth untuk menguasainya.
Cerita pun bersambung dengan kehidupan Elves, generasi ber generasi, karakter bijak mereka, serta kemampuan mereka untuk membuat hal-hal yang indah. Ketika Feanor (dari bangsa Elves) berhasil membuat tiga permata silmaril yang paling cemerlang di antara semua cahaya, timbul rasa iri dalam hati Melkor, dan ia ingin mencuri untuk dirinya sendiri.
Banyak pertikaian dimulai, antara Melkor dengan dewa-dewi, serta Melkor dengan Elves, kelancangan Elves terhadap dewa-dewi, perang saudara sesama Elves, serta perang-perang besar lainnya yang terjadi di zaman kedua Middle Earth. Yang pelan tapi pasti menuntun ke runut cerita penemuan cincin dalam The Hobbit serta perang cincin dalam TLOTR.
Jika, sudah membaca TLOTR & The Hobbit, banyak lubang kosong yang akhirnya diisi dalam The Silmarillion. Tentang siapa itu Morgoth (penyihir hitam yang paling ditakuti pada masanya), mengapa kurcaci dan elves saling bermusuhan, sejarah awal bentuk Sauron yang hanya berupa mata di menara tinggi, dan mengapa ada makhluk semengerikan Balrog di kedalaman Moria?
Well, karena banyak sekali nama tokoh yang diceritakan oleh Tolkien dalam lembar-lembar calon naskahnya, dan begitu banyak lembaran naskah yang hilang, yang belum sempat ia tuntaskan. Sehingga membuat sang anak, Christopher Tolkien merasa perlu untuk mengumpulkan kembali berkas-berkas tersebut, dan menyatukannya menjadi sebuah buku.
Walhasil, bukunya penuh dengan potongan kisah heroik dan tragis. Masing-masing kisah membutuhkan penjabaran yang lebih panjang, dari hanya sekedar satu atau dua bab. Karena menurut saya, potongan kisah itu lebih epik dari dua novel sebelumnya.
Jadi, bagi pembaca baru The Silmarillion, siapkanlah dirimu untuk membaca buku ini lebih dari sekali. Dan fokuskan pikiranmu pada nama-nama tokoh, dan tempat yang sangat melimpah. Kadang saya jadi bingung, dan kebolak-balik sendiri mengingat nama-namanya.
Anyway, buku ini baru bisa saya tamatkan lebih dari setengah tahun lamanya. T_T