Wednesday, March 15, 2017

Cerita Melahirkan Anak Kedua (Normal Sesungguhnya)

Lahir normal sesungguhnya, merupakan proses melahirkan seorang anak secara alami. Tanpa bantuan induksi ataupun vacuum. Begitu definisi yang saya dapatkan dari tim bidan yang menangani kelahiran anak kedua.

Misal anak sulung, memang saya lahirkan secara normal, tapi tetap ada keterangan "Normal dengan Bantuan Vacuum" di catatan bidan.

Beda dengan anak kedua, yang saya lahirkan normal alami. Alami mulesnya tanpa dipancing dengan induksi. Alami keluarnya, tanpa ditarik paksa oleh sedotan alat vacuum.

Seminggu sebelum HPL (Hari Prediksi Lahir), berat bayi dalam kandungan sudah mencapai 4 kilo (dicek oleh Dokter SpOG melalui USG dua dimensi).

Dan menurut beliau, jika lebih dari 4 kilo lebih baik di-caesar untuk menghindari resiko komplikasi.

Saat usia kehamilan 7 bulan, karena berat badan bayi meningkat pesat, Atas saran beliau juga, saya melakukan pengetesan toleransi gula/ GTT (Glucose Tolerance Test). Tes ini sesuai namanya untuk mengecek kadar toleransi tubuh saya dalam memproses gula. Hasilnya alhamdulillah normal-normal saja.

Saya diet nasi putih, sesuai nasehat dokter. Berharap berat badan bayi menyusut atau minimal tetap 4 kilo. Namun penyusutan itu mustahil terjadi, mengingat berat badan bayi yang akan bertambah 400 gram per minggunya.

Mundur lima hari dari HPL, tanggal 8 Juni, Shofiyah lahir dengan berat badan sama persis seperti kakaknya 3.8 kg.

Selain berat lahir yang identik, parasnya pun serupa. Allah subhanahu wataalla menjawab doa saya yang pengin banget punya anak kembar. Gapapa deh beda 4 tahun, yang penting mirip wajahnya. Nanti dipakein baju-baju yang motifnya samaan... hehehe...


Wait... bentar.... coba flashback sedikit. Kan di USG sebelum lahir 4 kg. Pas lahir malah menyusut 3.8. Gimana ini ceritanya?

Shofiyah lahir di minggu awal bulan Ramadhan. Jadi, karena saya berharap Allah subhanahu wataalla menyusutkan sedikit berat badan bayi, saya ikutan puasa dua hari pertama Ramadhan. Hari ketiga, ikut sahur bareng suami. Tapi jam 10 pagi saya buka, soalnya mulai berasa kontraksi skala ringan.

Khawatir menjelang ngeden, nggak ada tenaga. Teringat kenangan proses melahirkan anak pertama, kontraksi mulai jam 3 dini hari, nggak nafsu sarapan. Walhasil, lemes pas saat berjuang lahiran.

Tanggal 8 Juni itu memang jadwal saya kontrol ke dokter kandungan. Cek air ketuban, posisi janin, dll.

Kontraksi kan sudah dimulai dari jam 10 pagi. Hilang timbul dengan jeda tiap 50 menit. Saya masih santai di rumah.

Menjelang jam 4 sore, mules skala hebat mulai berdatangan membabi buta. Saya tahan gelombang cinta itu sampai kaki saya kaku lurus seperti mau menari balet. Tapi kalau mules hilang, saya santai lagi. Ngemil. Ngobrol. Main sama si kakak. Rapiin ini. Rapiin itu (maklum insting bersarang belum hilang).

Saat ke dokter untuk jadwal check up, jam setengah 8 malam. Saya bilang sudah mulai kontraksi. Dan saya info juga ke dokter mengenai catatan jeda hilang timbul rasa kontraksinya sekian menit.

Beliau menyarankan untuk pemeriksaan dalam. Begitu dicek, yup... sudah bukaan dua.

Dokter menanyakan mau menunggu di klinik atau pulang. Seperti biasa. Saya memilih pulang. Saya pikir rumah dekat ini.

Lagi-lagi, pilihan saya untuk pulang salah besar. Kenapa? Karena begitu saya sampai rumah, mules-mules sudah tidak berjeda.

Suami mengabari orang tua dan adik saya, mereka tiba di rumah jam 9 malam. Begitu melihat kondisi saya, langsung saya diangkut balik menuju klinik bidan.

Jam setengah 10 malam, sudah bukaan 8. Saya diminta untuk menahan rasa apapun. Mulai rasa sakit yang menusuk, hingga rasa ingin *maaf* B.A.B skala Luar Binasa.

Jam 10, bukaan lengkap. Tim bidan yang menangani saya sudah standby. Peralatan sudah disiapkan. Jarum infus penambah tenaga sudah terpasang cantik di lipatan tangan. Dan, saatnya mengejan.

Para bidan menginstruksikan posisi saya mesti begini dan begitu. Atur pola napas, cara mengejan yang benar, dll. Namun hingga jam setengah 11 malam, kemajuan tidak seberapa.

Salah satu bidan menargetkan jam 23.15 bayi sudah mesti lahir. Saya jadi terpacu saat dihadapkan oleh sebuah challenge.

Menit-menit berikutnya, tampak progress positif. Suami yang kebetulan berdiri di samping saya, sebagai motivator, memberi tahu bahwa bayi bergerak semakin turun.

Saya juga merasakan pergerakan bayi yang makin menekan daerah bawah.

Begitu kepalanya yang lunak berhasil melewati lubang vagina, menurut suami saya, bentuknya masih gepeng pipih. Tak lama setelah itu, langsung mengembang bulat, seperti sudah terisi angin.

Begitu juga dengan kedua bahunya. Sesaat baru keluar, keduanya menyatu, karena sempitnya jalan lahir. Ketika lolos dari lubang vagina, keduanya seperti dibelah dua.

Tanggal 8 juni pukul 23.14, Shofiyah lahir dengan berat 3.8 kg. Panjang 50 cm. Dengan kondisi terlilit tali pusat di bagian pinggang. Selebihnya, Alhamdulillah normal, sehat dan lucu. MasyaAllah ^_^

***

Well... hehehe... jadi panjang, keasyikan cerita.
Ada satu hal yang nggak mau saya lupakan. Ini tentang kegundahan hati menjelang hari-hari kelahiran.

Saat ketahuan berat bayi 4 kilo, lalu dokter tidak mau ambil resiko untuk proses kelahiran normal. Dan saya begitu takut sekaligus putus asa akan berhadapan dengan pisau bedah dan ruang operasi yang katanya dingin banget.

Saat itu harapan saya satu-satunya hanya Allah subhanahu wataalla. Saya perbanyak zikir ini:

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.

Artinya:

“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.”

Entah kenapa saya menjadi begitu yakin, dan positif Allah akan mengijabah doa-doa dan harapan saya bisa melahirkan normal. Tanpa kesulitan berarti. Bagi bumil muslim yang sedang menunggu kelahiran buah hati, bisa dicoba nih hypnobirthing ala saya ^_^

Bukan bermaksud riya. Yang ingin saya sampaikan, ini pengalaman yang sulit dilupakan. Bukan tentang proses lahirannya saja, tapi makna akan begitu besarnya rasa kasih sayang Allah subhanahu wataalla pada hambaNya.

Mungkin penyusutan berat badan bayi sebanyak 200 gram tidak seberapa. Mungkin pula sebetulnya hanya faktor salah hitung. Tapi bagi saya, kejadian ini tetap merupakan jawaban Allah subhanahu wataalla untuk doa-doa saya.

Demikian.

2 comments:

  1. Ih merinding pas baca hypnobirthingy bun.. . Trmksh ilmuy ya bund

    ReplyDelete