Thursday, November 6, 2014

Obsesi Memiliki Properti

Dari dulu, sejak masih single, yang ada di pikiran gue adalah berumah sendiri. Biar lebih mandiri, nggak seatap terus sama orang tua.

Selain buat investasi jangka panjang, karena harga properti akan selalu naik, juga bisa menghasilkan uang dari jasa sewa rumah, karena pastinya nggak mungkin bokap mengizinkan gue tinggal terpisah tanpa suami.

Ngumpulin down payment dari belum nikah sampai anak udah umur dua tahun kok kayaknya nggak cukup-cukup.

Dulu, DP berkisar 10 atau 20%. Sekarang peraturannya beda lagi. Untuk rumah second, harus minimal punya DP 30% dari harga rumah. Blum lagi biaya lainnya, seperti pajak, asuransi, adm bank, dll.

Rumah idaman gue yang awalnya seharga 100an juta, kok sekarang harganya melambung jadi 400an juta. DP yang tadinya gue perkiraan sebesar 20jutaan, lalu setelah terkumpul melalui reksa dana, tetap nggak cukup, karena hitungannya DP sudah menjadi 120jutaan.

Gue jadi seperti mengumpulkan DP dari nol lagi. Nggak kelar-kelar. Belum lagi untuk cicilannya nanti. Per bulan pasti naik, kejar-kejaran sama kenaikan gaji dari kantor.

Jika gue keukeh ngumpulin DP lagi hingga senilai, let's say 150juta lebih, lalu tiba-tiba pemerintah membuat peraturan baru, bahwa DP minimal 40% dari harga rumah, tamatlah riwayat gue. Mau sampe umur berapa ngumpulin DP??

Dua minggu belakangan, gue iseng browsing di rumahdijual.com. Awalnya cari-cari rumah subsidi pemerintah yang seharga 100an juta. Apalagi kata developernya, pemerintah akan menghapus kebijakan rumah subsidi per Maret 2015. Jadi cluster Casa Del Lago di Cileungsi itu adalah perumahan subsidi terakhir. Gue nggak tau itu beneran akan ditiadakan oleh pemerintah, atau cuma pintar-pintarnya orang marketing.

Gue seperti orang yang membabi buta dengan keterangan dari developer. Tanpa konsultasi sana-sini, gue langsung bikin janji survey ke Cileungsi.

Untungnya suami konsultasi dulu sama rekan-rekannya, dan kata mereka rumah subsidi itu seperti membeli tanah saja. Karena bangunannya asal jadi. Paling hitungan bulan sudah harus renovasi, entah tembok retak, langit-langit bocor, dan permasalahan lainnya.

Saat itu gue masih nggak peduli, karena yang ada di otak gue: harga murah, dan gue mampu beli.

Yang bikin gue mengurungkan niat hanyalah aksesnya yang tidak bisa ditempuh dengan krl. Udah jauh, macet pula. Pas nyampe, rumah sumpek karena pasti banyak yang rusak.

Menurut beberapa orang, mending cari tanah kosong, lalu dibangun bertahap.
Gue tanya-tanya tanah seluas 85meter persegi, seharga 67juta. Di daerah depok sawangan. Jauh memang, tapi paling nggak ada akses kereta.

Namun, lagi-lagi niat gue diurungkan, kali ini oleh bokap. Dia bilang, misalkan nanti mau dibangun itu pasti butuh biaya yang nggak sedikit. Apalagi nanti siapa yang mandorin kerjaan tukang, bisa-bisa dikorupsi tuh pasir & semen. Logis banget pemikiran bokap.

Gue mana mungkin bisa hadir tiap hari di lokasi pembangunan. Bisa-bisa budget yang gue siapkan untuk membangun rumah perlahan membumbung, gara-gara pembelian material yang double-double.

Mending beli tanah beserta bangunannya, kalo ada rusak dikit, tinggal dibenerin sedikit pula, lanjut bokap. Misal, mau ganti kusen pintu yang dirayapin, tinggal renov sedikit di bagian kusen. Biayanya nggak banyak.

Gue serap sedimikian rupa saran-saran dari ortu. Lalu pencarian gue mengerucut antara rumah second, lokasi di depok atau citayam, & harga di bawah 250juta.

Setelah tanya dengan beberapa developer, dan salah satunya menginfokan rumah lelang bank BTN yang lumayan murah di daerah Bojonggede, Depok. Kita sekeluarga sudah survey ke sana. Naik krl dari St. Tebet, turun di St. Bojonggede. Lokasi rumah sekitar 10 menit dari stasiun. Yaaa.... sekalian ngajak jalan Sabrina, pengalaman dia yang pertama naik krl.



No comments:

Post a Comment