Genre:
|
Kesehatan
|
Author:
|
Dr. Arifianto, Sp.A
|
Saat Si Sulung masih dalam kandungan, Saya bertemu dengan seorang ibu yang juga sedang hamil anak pertama. Kami ngobrol basa-basi soal proses kelahiran nanti, tentang ASI & IMD, lalu berujung pada imunisasi.
Sebelum bertemu Bumil ini, Saya pikir tidak ada yang salah dengan imunisasi. Sebab, sudah diberikan secara turun temurun. Vaksinasi merupakan hal biasa buat Saya, seperti membeli keperluan bayi saja. Malah yang Saya pelajari serius adalah teori tentang ASI. Karena di keluarga besar, ASI sudah tidak populer. Kalah pamor dengan sufor.
Konon, Si Ibu membaca sebuah majalah Islam bulanan tentang "kejahatan" imunisasi. Vaksin tidak lebih dari konspirasi barat dan Yahudi, yang ingin membunuh anak-anak Muslim, pelan-pelan. Katanya, artikel tersebut ditulis oleh seorang ustadz. Yang mana, tidak mungkin beliau berdusta. Mengerikan sekali, bukan?
Dari obrolan singkat dengan Si Ibu tadi, menggantunglah pikiran kerdil untuk ikutan tidak mengimunisasi anak-anak Saya. Vaksin "Si Pembunuh" itu diam-diam Saya coret dari daftar "Hal Biasa".
Beberapa hari menjelang lahiran, Saya berkunjung ke rumah sepupu. Dia pun menceritakan hal serupa. Bersumber dari majalah yang sama. Bahkan anak ketiganya tidak divaksin sama sekali. Teror imunisasi menghampiri lagi.
Begitu Sabrina lahir (entah kenapa, mungkin memang sudah jalannya), Saya tetap mengikuti jadwal vaksin gratis dari Pemerintah di Puskesmas. Apa karena efek magis kata "Gratis", jadi Saya melunak? Hahaha.. maklumin aja ya, namanya juga emak-emak.
Karena sudah kadung imunisasi, mulailah Saya konsultasi dengan Mbah Google. Mencari-cari pembenaran atas tindakan memvaksin anak. Dan apa yang Saya temukan begitu mencengangkan. Pro kontra imunisasi sangat ramai di jagat maya. Masyarakat world wide web terpecah menjadi dua kubu: ProVaks & AntiVaks. Fakta diberikan. Opini & hujatan dilemparkan. Saya, Si Awam kebingungan.
Semakin banyak artikel yang dibaca, semakin bingung. Akhirnya Saya menyimpulkan, hanya memvaksin Sabrina mengikuti jadwal Pemerintah, bukan IDAI. Keputusan ini pun Saya sesali sekarang.
Sebelum putri kedua lahir, tanpa ragu, Saya membeli dan membaca buku ini. Supaya keteledoran itu tidak terulang ke anak-anak berikutnya. Sebagai seorang Ibu, mengedukasi diri sendiri adalah hal penting. InsyaAllah dinilai ibadah olehNya.
Dari buku bersampul biru, Saya jadi tahu banyak. Ternyata vaksin-vaksin yang diwajibkan Pemerintah adalah buatan lokal. Nama perusahaannya: Bio Farma, pun merupakan badan usaha milik negara, bukan swasta.
Vaksin-vaksin yang diproduksi Bio Farma juga diekspor ke negara-negara Muslim, yang lebih mempercayakan imunisasi penduduknya kepada kita: Negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia: Indonesia! Harusnya bangga donk ya. Namun di negaranya sendiri, Bio Farma malah dicap sebagai "musuh" oleh beberapa oknum.
Dr. Arifianto, yang aktif juga di Gesamun (Gerakan Sadar Imunisasi), menerangkan apa itu imunisasi, bagaimana proses pembuatannya, vaksin apa saja yang beredar di dunia, lalu mana saja yang diwajibkan Pemerintah dan direkomendasikan IDAI. Selain itu, beliau juga membeberkan fakta-fakta dari penelitian terbaru, mitos-mitos, serta berita-berita seputar imunisasi di pelosok tanah air dan dunia.
Membaca buku ini, membuka mata Saya, betapa vaksin merupakan isu sensitif, yang wajib diluruskan dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan menyadur perkataan si anu, atau si anu.
Demikian.
Sebelum bertemu Bumil ini, Saya pikir tidak ada yang salah dengan imunisasi. Sebab, sudah diberikan secara turun temurun. Vaksinasi merupakan hal biasa buat Saya, seperti membeli keperluan bayi saja. Malah yang Saya pelajari serius adalah teori tentang ASI. Karena di keluarga besar, ASI sudah tidak populer. Kalah pamor dengan sufor.
Konon, Si Ibu membaca sebuah majalah Islam bulanan tentang "kejahatan" imunisasi. Vaksin tidak lebih dari konspirasi barat dan Yahudi, yang ingin membunuh anak-anak Muslim, pelan-pelan. Katanya, artikel tersebut ditulis oleh seorang ustadz. Yang mana, tidak mungkin beliau berdusta. Mengerikan sekali, bukan?
Dari obrolan singkat dengan Si Ibu tadi, menggantunglah pikiran kerdil untuk ikutan tidak mengimunisasi anak-anak Saya. Vaksin "Si Pembunuh" itu diam-diam Saya coret dari daftar "Hal Biasa".
Beberapa hari menjelang lahiran, Saya berkunjung ke rumah sepupu. Dia pun menceritakan hal serupa. Bersumber dari majalah yang sama. Bahkan anak ketiganya tidak divaksin sama sekali. Teror imunisasi menghampiri lagi.
Begitu Sabrina lahir (entah kenapa, mungkin memang sudah jalannya), Saya tetap mengikuti jadwal vaksin gratis dari Pemerintah di Puskesmas. Apa karena efek magis kata "Gratis", jadi Saya melunak? Hahaha.. maklumin aja ya, namanya juga emak-emak.
Karena sudah kadung imunisasi, mulailah Saya konsultasi dengan Mbah Google. Mencari-cari pembenaran atas tindakan memvaksin anak. Dan apa yang Saya temukan begitu mencengangkan. Pro kontra imunisasi sangat ramai di jagat maya. Masyarakat world wide web terpecah menjadi dua kubu: ProVaks & AntiVaks. Fakta diberikan. Opini & hujatan dilemparkan. Saya, Si Awam kebingungan.
Semakin banyak artikel yang dibaca, semakin bingung. Akhirnya Saya menyimpulkan, hanya memvaksin Sabrina mengikuti jadwal Pemerintah, bukan IDAI. Keputusan ini pun Saya sesali sekarang.
Sebelum putri kedua lahir, tanpa ragu, Saya membeli dan membaca buku ini. Supaya keteledoran itu tidak terulang ke anak-anak berikutnya. Sebagai seorang Ibu, mengedukasi diri sendiri adalah hal penting. InsyaAllah dinilai ibadah olehNya.
Dari buku bersampul biru, Saya jadi tahu banyak. Ternyata vaksin-vaksin yang diwajibkan Pemerintah adalah buatan lokal. Nama perusahaannya: Bio Farma, pun merupakan badan usaha milik negara, bukan swasta.
Vaksin-vaksin yang diproduksi Bio Farma juga diekspor ke negara-negara Muslim, yang lebih mempercayakan imunisasi penduduknya kepada kita: Negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia: Indonesia! Harusnya bangga donk ya. Namun di negaranya sendiri, Bio Farma malah dicap sebagai "musuh" oleh beberapa oknum.
Dr. Arifianto, yang aktif juga di Gesamun (Gerakan Sadar Imunisasi), menerangkan apa itu imunisasi, bagaimana proses pembuatannya, vaksin apa saja yang beredar di dunia, lalu mana saja yang diwajibkan Pemerintah dan direkomendasikan IDAI. Selain itu, beliau juga membeberkan fakta-fakta dari penelitian terbaru, mitos-mitos, serta berita-berita seputar imunisasi di pelosok tanah air dan dunia.
Membaca buku ini, membuka mata Saya, betapa vaksin merupakan isu sensitif, yang wajib diluruskan dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan menyadur perkataan si anu, atau si anu.
Demikian.